Siapa yang tak ingin selalu sehat,
gembira, dan bahagia? Tentu kita menginginkannya. Namun, adakah di antara kita
yang menginginkan keadaan sebaliknya? Menjadi pesakitan, miskin, atau
kehilangan harta bahkan orang yang dicinta.
Hari ini kita bisa saja tertawa gembira tapi siapa yang tahu kejadian lusa,
esok, atau bahkan sedetik nanti. Manusia boleh saja terus-menerus membuat
rencana masa depan dan berharap agar rencana-rencananya itu berjalan sesuai
keinginannya. Namun bagaimana bila yang terjadi malah sebaliknya? Misalnya,
penyakit yang tidak diharapkan datang atau kecelakaan fatal melemparkan
hidupnya ke dalam kehancuran (ya kehancuran, karena kejadian-kejadian tersebut
tidak termasuk dalam rencana masa depannya). Setiap orang tentu mengalami
saat-saat sulit dalam kehidupannya. Kesulitan yang mungkin dihadapi seorang
mukmin dan ujian-ujian dunia ini, tujuannya tidak lain untuk mengingatkan
orang-orang beriman akan keberkahan yang tersembunyi dan balasan yang diberikan
secara berangsur-angsur kepada mereka, baik di dunia maupun di akhirat.
Di dalam Al-Qur`an, Allah menjelaskan bahwa Dia akan menguji seorang mukmin
untuk melihat siapakah yang benar-benar dalam keimanannya.
Saat menikmati kesehatan, banyak orang tidak pernah berpikir bahwa kesulitan
(walau sering terjadi pada ribuan orang lain setiap harinya) dapat terjadi pada
mereka juga.
Itulah sebabnya, saat berhadapan dengan kejadian-kejadian yang tidak
diharapkan, terkadang manusia dengan segera menjadi kurang bersyukur terhadap
Pencipta mereka. Mereka menolak kenyataan takdir seraya mengatakan, “Mengapa
ini terjadi pada diriku?” Orang yang jauh dari akhlaq Al-Qur`an cenderung
enggan menyerahkan kepercayaan kepada Allah saat mereka sakit atau tertimpa
kecelakaan, apalagi mencari kebaikan dalam peristiwa yang menimpa mereka.
Beberapa orang yang tidak mengerti realitas takdir menganggap bahwa penyebab
pernyakit hanyalah virus atau mikroba. Demikian pula saat kecelakaan lalu
lintas, mereka menganggap supirnyalah yang menyebabkan kecelakaan tersebut.
Sebenarnya setiap penyebab penyakit, seperti mikroba, bakteri, ataupun yang
membahayakan manusia, semua itu adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah untuk
tujuan-tujuan tertentu. Tak ada satu pun dari mereka yang dibuat secara
serampangan. Mereka semua bertindak di bawah kendali Allah. Manusia mudah
diserang mikroba karena Allah menginginkannya demikian. Jika seorang manusia
menderita sakit keras karena virus, hal itu terjadi dengan sepengetahuan Allah.
Jika sebuah mobil menabrak seseorang dan membuat orang tersebut cacat, kejadian
ini juga merupakan peristiwa yang terjadi atas izin Allah. Tak peduli dengan
cara apa pun dia menghindar, dia tidak akan pernah mengubah kejadian tersebut,
bahkan bagian terkecilnya sekalipun. Ia tidak dapat memindahkan bagian kecil
takdir mereka karena takdir diciptakan dalam kesatuan. Bagi seseorang yang menyerahkan
dirinya kepada Allah Yang Mahakuasa dan mereka yang percaya kepada
kebijaksanaan dan kasih Allah yang tak terbatas, kecelakaan, penyakit, atau
kesengsaraan, semuanya adalah cobaan sementara yang menuntun kepada kebahagiaan
tertinggi.
Dalam situasi yang demikian, yang penting adalah kualitas moral yang baik yang
melekat dalam diri seseorang. Penyakit dan kecelakaan adalah peristiwa yang
bisa dijadikan kesempatan bagi orang-orang beriman untuk menunjukkan kesabaran
dan akhlaq yang baik. Mereka mendekatkan diri kepada Allah.
Di dalam Al-Qur`an, Allah berfirman tentang penyakit yang dihubungkan dengan
pentingnya kesabaran melalui saat-saat demikian.
“… sesungguhnya kebajikan itu adalah
beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi,
dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang
meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan
menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji,
dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan.
Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang
yang bertaqwa.” (al-Baqarah: 177)
Seperti yang telah disebutkan di
awal, kenyataan bahwa di dalam ayat ini, penyakit juga termasuk dalam
kesengsaraan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu. Seseorang yang
dihadapkan pada dilema fisik atau tertimpa kecelakaan, ia harus ingat bahwa
semua itu adalah cobaan untuknya walaupun ia tidak dapat segera menemukan
alasan mengapa dirinya tertimpa musibah itu. Ia harus ingat bahwa hanya
Allahlah yang memberikan penyakit dan obatnya. Ini sangat penting untuk
memelihara sikap moral yang tepat. Mungkin ia harus melalui kesulitan sementara
sebagai seorang hamba yang memiliki kepasrahan penuh kepada Tuhannya. Di
akhirat nanti, ia akan dibalas dengan kebahagiaan yang abadi.
Bagaimanapun juga, penting bagi kita untuk mengingat hal ini untuk memelihara
moralitas tertinggi saat berhadapan dengan kejadian serupa. Hingga detik ini,
kita perlu mengetahui bahwa semua penyakit diciptakan dengan maksud-maksud
tertentu. Jika Allah menghendaki, seseorang bisa saja tidak akan pernah sakit
atau menderita. Akan tetapi, jika seseorang diberi ujian, ia harus sadar bahwa
semua itu memiliki maksud. Semua itu membantunya untuk memahami kesementaraan
dunia ini dan kekuasaan Allah yang luar biasa.
Penyakit Mengingatkan Manusia bahwa Ia Lemah dan Membutuhkan
Allah
Ketika sakit, tubuh yang sebelumnya
sehat dan kuat dikalahkan oleh virus dan bakteri. Sebagaimana diketahui, banyak
penyakit yang menyebabkan penderitaan dan melemahkan tubuh. Dalam beberapa
kasus, seseorang merasa telalu lemah untuk bangkit dari tempat tidur atau
melakukan tugas sehari-hari. Karena ia tidak dapat membasmi virus yang tidak
kelihatan itu, maka ia akan lebih mengerti akan kelemahan dirinya dan bagaimana
ia begitu membutuhkan Allah. Saat kesehatannya menurun, seseorang yang
sebelumnya berani menunjukkan kesombongannya kepada Sang Pencipta, atau
memamerkan kesehatan dan harta kekayaannya, menjadi sadar akan kenyataan ini.
Ia dapat lebih menghargai kekuatan Allah yang tak terhingga, Pencipta
segalanya.
Penyakit Menjadikan Seseorang Lebih Memahami bahwa Kesehatan
adalah Berkah dan Kemurahan dari Allah
Hal lain yang biasanya kita lupakan
dalam kesibukan sehari-hari adalah betapa besarnya karunia kesehatan. Seseorang
yang diberi kesehatan terus-menerus dan tidap pernah menderita, mudah saja
mengatur keadaan. Akan tetapi, ketika ia dihadapkan pada serangan penyakit yang
tiba-tiba, ia menyadari bahwa kesehatan merupakan berkah dari Allah. Hal itu
disebabkan ia kehilangan sesuatu yang membuatnya lebih menghargai nilai sesuatu
yang hilang itu.
Penyakit Menjadikan Seseorang Benar-Benar Menyadari
Kesementaraan Dunia Ini, Kematian, dan Akhirat
Kebanyakan manusia mengira bahwa
menderita penyakit yang fatal atau kehilangan organ tubuh adalah sebuah
kesengsaraan. Seharusnya, penyakit dapat dimaknai bukan sebagai kesengsaraan,
tetapi untuk kesalamatan di akhirat dan untuk mengarahkan dirinya hanya kepada
Allah. Hal ini karena orang yang terkena penyakit serius biasanya semakin
waspada. Penderitaan itu menolong dirinya untuk menyadari kurangnya perhatian
yang menumpulkan kesadaran dirinya dan mendorongnya untuk merenungi realitas
akhirat. Orang yang demikian benar-benar memahami betapa tidak berartinya
kecintaan akan dunia ini serta dekatnya kematian. Alih-alih hidup dalam
ketidakbertanggung-jawaban, penyakit yang tiba-tiba membuatnya semakin memahami
betapa pentingnya mendapatkan keridhaan Allah dan kehidupan akhirat demi
mencapat keselamatan.
Penyakit Diberikan untuk Do’a Seseorang dan Menariknya untuk
Dekat kepada Allah
Saat gejala penyakit semakin parah,
seseorang mulai memikirkan kematian. Pikiran ini menghantuinya sampai ia
berusaha menghindarinya dengan sengaja. Dengan segala ketulusan, ia meminta
kepada Allah untuk disembuhkan. Bahkan, saat menderita sakit yang tidak dapat
disembuhkan, seseorang yang belum pernah berdo’a sebelumnya tiba-tiba merasa
perlu memohon kepada Allah untuk disembuhkan. Ia berdo’a dengan tulus ikhlas.
Inilah sebabnya, seseorang bisa dekat dengan Tuhannya ketika dirinya tidak
berdaya. Jika ia menunjukkan rasa syukurnya setelah sembuh dan terus berdo’a dengan
ikhlas, penyakitnya itu menjadi kebaikan buatnya dan menjadi awal keimanan
dirinya.
Allah menyebutkan orang-orang yang kembali kepada-Nya dari kesengsaraan dalam
ayat berikut.
“Dan apabila Kami memberikan nikmat
kepada manusia, ia berpaling dan menjauhkan diri; tetapi apabila ia ditimpa
malapetaka maka ia banyak berdo’a.”
(Fushshilat: 51)
“Dan apabila manusia ditimpa bahaya
dia berdo’a kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk, atau berdiri, tetapi
setelah Kami hilangkan bahaya itu darinya, di (kembali) melalui (jalannya yang
sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdo’a kepada Kami untuk (menghilangkan)
bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu
memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan.” (Yunus: 12)
“Dan apabila manusia disentuh oleh
suatu bahaya, mereka menyeru Tuhannya dengan kembali bertobat kepada-Nya,
kemudian apabila Tuhan merasakan kepada mereka barang sedikit rahmat dari-Nya,
tiba-tiba sebagian dari mereka mempersekutukan Tuhannya.” (ar-Ruum: 33)
Sebagaimana ayat di atas, manusia
seharusnya tidak hanya berdo’a di saat sulit, tetapi ia harus tetap berdo’a
setelah ujiannya diangkat. Dengan demikian, penyakit keras atau cobaan itu
dapat membuatnya mengakui kelemahannya dan bertobat di hadapan Allah. Dengan demikian,
ia menuju penyerahan seluruh hidupnya kepada Allah.
Sebagai Balasan atas Kesabaran yang Ditunjukkan di Kala
Sakit, Allah Membalasnya dengan Kehidupan Abadi di Dalam Surga
Seperti telah disebutkan sejak awal,
maksud lain mengapa Allah memberikan penderitaan dengan penyakit adalah untuk
menguji kesabaran dan keimanan seseorang kepada Allah. Saat menderita suatu
penyakit, sikap seorang muslim jelas berbeda dengan orang-orang bodoh. Ia
memiliki kesabaran, keyakinan, dan kesetiaan kepada Allah. Ini dikarenakan
mereka sadar bahwa pandangan yang mereka yakini di saat mereka dalam kesempitan
adalah untuk mendapatkan keridhaan Allah. Itulah balasan terbesar di akhirat
atas penyakitnya. Ia mencapai berkah yang tak terhingga atas kehidupan surga
sebagai balasan kesengsaraan sementaranya di dunia ini.
Nabi Ibrahim yang ikhlas ketika dihadapkan dengan penyakit adalah contoh yang
baik untuk semua orang beriman,
“Dan apabila aku sakit, Dialah Yang
menyembuhkan aku, dan Yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku
(kembali).” (asy-Syu’araa`: 80-81)
Sikap dan akhlaq menakjubkan yang
ditunjukkan oleh Nabi Ayyub a.s. adalah contoh yang lain. Seperti yang telah
Al-Qur`an katakan kepada kita, Nabi Ayyub a.s. menderita penyakit yang parah,
namun penyakitnya itu malah memperkuat kesetiaan dan keyakinannya kepada Allah.
Inilah sifat yang menjadikannya salah seorang nabi yang dipuji di dalam
Al-Quran.
Dari Al-Qur`an, kita juga tahu bahwa sebagai tambahan penyakit yang
dideritanya, Nabi Ayyub a.s. juga mengalami tipu daya setan. Berpikir untuk
menguasai Nabi Ayyub di saat ia lemah, setan mencoba menghasutnya untuk tidak
lagi percaya kepada Allah. Hal ini karena dalam kondisi sakit parah, biasanya
sulit bagi seseorang untuk memusatkan perhatiannya. Dengan mudah, ia dapat
terbujuk oleh setan. Akan tetapi, sebagai seorang nabi yang mengabdi sepenuh
hati kepada Allah, Nabi Ayyub a.s. berhasil lolos dari perangkap setan. Ia
shalat dan ikhlas berdo’a kepada Allah, memohon pertolongan-Nya. Di dalam
Al-Qur`an, do’a yang dicontohkan oleh Nabi Ayyub adalah,
“Dan (ingatlah kisah) Ayyub, ketika
ia menyeru Tuhannya, ‘(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan
Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.’ Maka Kami
pun memperkenankan seruannya itu, lalu kami lenyapkan penyakit yang ada
padanya….” (al-Anbiyaa`: 83-84)
Allah menanggapi do’a tulus Nabi
Ayyub dengan firman-Nya,
“Dan ingatlah akan hamba Kami Ayyub ketika ia menyeru Tuhannya, ‘Sesungguhnya,
aku diganggu setan dengan kepayahan dan siksaan.’ (Allah berfirman),
‘Hantamkanlah kakimu; inilah air sejuk untuk mandi dan untuk minum.’ Dan Kami
anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan (Kami tambahkan)
kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai rahmat dari Kami dan pelajaran bagi orang-orang
yang mempunyai pikiran. ‘Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka
pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah.’ Sesungguhnya, Kami
dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya,
dia amat taat (kepada Tuhannya).”
Nabi Ayyub benar-benar mendapatkan balasan atas keyakinannya kepada Allah,
pengabdiannya kepada-Nya dan tingkatan kemuliaannya. Ia juga menjadi contoh
yang baik untuk bagi semua muslim.
Semoga hal ini bisa menjadi bahan renungan bagi kita,
bahwa sesungguhnya ada kebaikan dalam segala hal. Seseorang yang memikirkan hal
ini akan memahami sepenuhnya bagaimana kita bisa menentukan mana yang baik dan
mana yang buruk, sesuai dengan pernyataan Allah, “Bisa jadi seseorang membenci
sesuatu, padahal itu baik untuknya, dan mungkin seseorang mencintai sesuatu,
padahal itu buruk untuknya.”
[dikutip dari "Melihat Kebaikan dalam Segala
Hal" Harun Yahya]